Thursday, 15 July 2010

ISTRIKU LESBIAN



WOW! Aneh tapi nyata, mungkin itu seharusnya judul dari tulisan ini. Ini bukan sekedar selingkuh biasa, tetapi lebih dahysat lagi. Selingkuh dengan sesama jenis. Yang lebih mencengangkannya lagi, disetujui pula oleh suaminya….

Pernah dengar selentingan tetapi tidak terlalu percaya sampai akhirnya kejadian. Seorang sahabat dari bangku kuliah, Nanda namanya, yang baru kawin enam bulan yang lalu, memberikan sebuah pengakuan yang mengejutkan. Dia mengaku punya pacar seorang perempuan cantik bernama Saskia sejak dua bulan lalu dan sudah mendapat persetujuan dari suaminya.

Tadinya saya pikir dia hanya mengada-ada saja, tetapi dari wajahnya yang tampak serius, sepertinya dia tidak bohong. Apalagi kemudian dia memperkenalkan Saskia kepada saya. Tidak hanya itu, dia pun memperkenalkan saya kepada beberapa wanita anggota “geng” mereka yang menganut aliran sepaham.

Rasa iba yang sangat besar muncul dari lubuk hati yang paling dalam mengingat apa yang terjadi akibat rasa sepi di hati Nanda. Kemudian muncul rasa takut dan curiga yang tidak kalah besarnya. Jangan-jangan… dari dulu dia lesbian! Padahal kita dulu suka tidur bareng, ganti baju rame-rame, peluk-pelukan… TIDAKKKKK !!!!

Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan? Bagaimana saya harus bersikap? Tolong berikan saya jawaban agar mulut yang terkunci rapat dan tubuh yang sepertinya sudah tak bertulang ini bisa berfungsi lagi.

Ayo Mariska! Semangat-semangat!! Berpikir positif! Positif… positif… positif…

Setelah berhari-hari gelisah memikirkan apa yang terjadi, akhirnya saya mendapat jawaban yang saya anggap dari Tuhan. Sebuah buku yang tergeletak di atas meja kerja saya terbuka, dan sepenggal kalimat langsung menarik perhatian saya. “…Ideal society is a drama enacted in the imagination…” The Life of Reason, George Santayana, halaman 150. Bagi saya, artinya adalah tidak mungkin bagi kita untuk selalu mendapatkan segala sesuatunya sesuai dengan yang kita inginkan. Semuanya hanya bisa terwujud di kepala saja, sedangkan kenyataannya kita harus lebih realistis.

Bukan hak saya untuk menilai dia, begitu juga memaksanya untuk berubah. Adalah kewajiban saya untuk membuka mata hati dan pikirannya. Biarpun kecil usaha yang saya lakukan, tetapi lebih baik daripada duduk diam dan berpangku tangan. Akhirnya saya pun memutuskan untuk memberi sedikit pencerahan seks kepada “geng aneh” ini.

Di hari yang telah ditentukan bersama, saya pun mengunjungi sebuah cafe tempat geng ini biasa berkumpul. Rasanya sedikit aneh. Dari rumah siap-siap akan bertemu dengan wanita-wanita tomboy berdandan ala punk dengan tindikan di mana-mana, tapi kok yang ada justru kaya ibu-ibu arisan. Cantik-cantik, rapih-rapih, harum-harum, dan genit-genit. Ngerumpi sana, ngerumpi sini. Terlalu biasa untuk dibilang aneh.

Setelah basa-basi, “ceramah” pun dimulai. Pertama-tama, saya bertanya, “Siapa di antara ibu-ibu, mbak-mbak, sekalian yang merasa lebih aman menjadi lesbian dibandingkan selingkuh dengan banyak pria?”. Persis seperti dugaan saya, 100% dari mereka yang jumlahnya mendekati angka 50 orang ini menjawab dengan yakin, “Pastinya, dong!

Saya pun melanjutkan dengan penjelasan bahwa apa yang mereka pikir itu tidak sepenuhnya benar. Seorang lesbian pun memiliki resiko tertular penyakit kelamin, HIV, dan AIDS. Terlebih lagi jika mereka tetap melakukan hubungan seks dengan suami-suami mereka. Resikonya jadi dua kali lebih besar lagi.

Seks oral yang mereka biasa lakukan pun memiliki resiko yang tinggi bila tidak mengindahkan kebersihan mulut dan tubuh. Mulut dan tangan yang kotor bisa membawa virus, bakteri, dan kuman penyebab penyakit lainnya masuk kedalam tubuh. Penyakit kelamin seperti herpes pun bisa tertular lewat cara ini. Untuk lebih mendramatisir, saya minta mereka membayangkan luka seperti bisul akibat herpes yang biasanya ada di alat vital, pindah ke mulut dan seputar bibir mereka. Hehehe… banyak yang stress!

Resiko terjadinya kerusakan alat vital dan organ seksual lainnya akibat penggunaan “alat bantu” seperti dildo dan vibrator dengan tidak benar juga bisa terjadi. Bayangkan bila harus dilakukan vagina plasti hanya karena dinding vagina menjadi rusak dan robek seperti saat melahirkan anak. “Aduh, sakitnya!” teriak salah satu dari mereka.

Belum lagi efek psikologis yang timbul akibat tekanan dari luar, kurangnya rasa percaya diri, rasa bersalah, benci, dendam, dan masalah lainnya yang berakumulasi menjadi satu. Membohongi diri sendiri memiliki efek psikologis negatif yang besar terhadap kejiwaan seseorang. Tidak sedikit yang akhirnya merasa dikucilkan, stress, dan buntut-buntunya masuk Rumah Sakit Jiwa. Semua cuma diam dan ada juga yang terbengong-bengong.

Perkembangan psikologis anak pun harus dipikirkan. Kita sebagai orang tua tidak boleh egois, karena bagaimanapun juga, seberapa pintarnya kita menutupi masalah, seorang anak tetap bisa “merasa”. Bila ada sesuatu yang tidak benar dan salah dalam sebuah rumah tangga, seringkali anak yang akhirnya menjadi korban terparah.

Saya tidak meminta mereka untuk kemudian segera berubah pikiran, tetapi saya minta mereka untuk merenung sejenak apa yang telah dibahas sebelumnya. Apapun keputusan yang mereka ambil, tetap akan saya hargai. Toh, semua resikonya mereka yang harus tanggung sendiri.

Sebuah pelajaran yang tak ternilai artinya bagi saya. Semoga juga bisa memberikan banyak manfaat bagi semua
sumber : kesehatan.kompasiana.com

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...